Tuesday, July 20, 2010

Hukum Memejamkan Mata Ketika Shalat

PERTANYAAN:
Berdoa atau berdzikir dengan keadaan mata terpejam memang terasa lebih khusyuk. Dan saya sering melakukannya. Namun akhir-akhir ini ada perasaan khawaatir, jangan-jangan hal itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi. Mohon penjelasan.

Jika ada orang yang bertanya, “Seandainya ada seorang yang memejamkan kedua matanya sehingga tidak memandang apa-apa, apakah hal ini diperbolehkan ataukah tidak, maka jawabannya pendapat yang benar, hal tersebut dimakruhkan karena tindakan tersebut menyerupai tindakan majusi pada saat memuja api. Di mana mereka pada saat itu memejamkan mata-mata mereka.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan perbuatan orang-orang Yahudi sedangkan menyerupai orang-orang non Islam, minimal hukumnya adalah haram, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Jika demikian memejamkan mata pada saat sholat minimal hukumnya adalah makruh. Kecuali jika ada penyebab untuk melakukannya. Misalnya di sekeliling orang yang sholat tersebut, terdapat sesuatu yang mengganggu konsentrasinya seandainya dia membuka kedua matanya.

Nah! Pada saat inilah hendaknya mata dipejamkan dalam rangka menghindari hal yang tidak diinginkan tersebut. Andai ada orang yang bertanya, ‘Jika aku memejamkan mataku, maka aku merasa lebih khusyu’ daripada aku tidak memejamkan mataku’ lalu apakah aku diperbolehkan memejamkan mata karena alasan demikian. Jawabannya adalah tetap tidak boleh.

Karena kekhusyukan yang didapatkan melakukan perbuatan yang hukumnya makruh itu berasal dari syaitan. Kekhusyukan seperti itu tak ubahnya sebagaimana kekhusyukan orang-orang sufi.

Ketika melafadzkan dzikir-dzikir bid’ah, syaitan terkadang menjauh dari hati kita sehingga tidak menimbulkan was-was ketika kita memejamkan mata dengan maksud untuk menjerumuskan kita dalam hal yang hukumnya makruh.

Hendaknya mata tetap kita buka dan kita berusaha untuk khusyuk ketika melaksanakan shalat. Sedangkan memejamkan mata tanpa sebab agar mendapatkan kekhusyukan sekali lagi ini berasal dari syaitan.
(Lihat Shifat as-Sholah karya Ibn Utsaimin hal 53 cetakan Darul Kutub al-Ilmiah)

Thursday, July 8, 2010

SEBERAPAKAH SYUKUR KITA?

BISMILLAHI WALHAMDILILLAH. WASSOLAATU WASSALAAMU'ALAA RASULILLAH.
SEBERAPA KAH SYUKUR KITA?
Syukur merupakan perbuatan yang amat utama dan mulia. Oleh karena itu Allah Subhannahu wa Ta'ala memerintahkan kita semua untuk bersyukur kepada-Nya, mengakui segala keutamaan yang telah Dia berikan, sebagaimana dalam firman Nya yang artinya,
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS Al-Baqarah : 152)

Allah Subhannahu wa Ta'ala juga memberitahu bahwa Dia tidak akan menyiksa siapa saja yang mau bersyukur, sebagaimana yang difirmankan artinya,
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman, dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nisaa : 147)

Orang yang mahu bersyukur merupakan kelompok orang yang khusus di hadapan Allah. Dia mencintai kesyukuran dan para pelakunya serta membenci kekufuran dan pelakunya. Dia telah berfirman-Nya yang artinya,
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meredhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meredhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS Az Zumar: 7)

Allah juga menegaskan, bahwa syukur merupakan sebab dari kelangsungan sebuah nikmat, sehingga tidak lenyap dan bahkan malah semakin bertambah, sebagaimana firman-Nya yang artinya,
“Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu mema'lumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim : 7)

Dan masih banyak lagi, tentunya keutamaan dan manfaat dari syukur kepada Allah, maka tak hairan jika Allah menyatakan bahwa amat sedikit dari hamba-hamba-Nya yang bersyukur (dengan sebenarnya).

HAKIKAT SYUKUR
Kesyukuran yang hakiki di bangun di atas lima asas utama. Barang siapa merealisasikannya, maka dia adalah seorang yang bersyukur dengan benar.

Lima asas tersebut adalah:
1. Merendahnya orang yang bersyukur di hadapan yang dia syukuri (Allah).
2. Kecintaan terhadap Sang Pemberi nikmat (Allah).
3. Mengakui seluruh kenikmatan yang Dia berikan.
4. Senantiasa memuji-Nya, atas nikmat tersebut.
5. Tidak menggunakan nikmat untuk sesuatu yang dibenci oleh Allah.

Maka dengan demikian syukur adalah merupakan bentuk pengakuan atas nikmat Allah dengan penuh sikap kerendahan serta menyandarkan nikmat tersebut kepada-Nya, memuji Nya dan menyebut-nyebut nikmat itu, kemudian hati senantiasa mencintai Nya, anggota badan taat kepada-Nya serta lisan tak henti-henti menyebut Nya.

PUJIAN (ZIKIR) YANG DIAJARKAN NABI SALALLAHU ALAIHI WASALLAM
Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ketika pagi dan petang mengucapkan pujian (zikir) sebagai berikut yang artinya,

"Ya Allah tak satu pun kenikmatan yang menyertaiku di pagi / petang ini atau yang tercurah kepada salah satu dari makhluk Mu, maka itu adalah semata-mata dari Mu, tiada sekutu bagi Mu, untuk Mu lah segala puji dan untuk Mu pula segenap syukur."

Nabi memberitahukan, bahwa siapa yang membaca dzikir ini di waktu pagi, maka ia telah melakukan syukur sepanjang siang harinya, dan barang siapa membacanya ketika petang, maka dia telah melaksanakan syukurnya sepanjang malamnya.
(HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi)

MACAM-MACAM SYUKUR
Imam Ibnu Rajab berkata, "Syukur itu dengan hati, lisan dan anggota badan.”
Syukur dengan hati adalah mengakui nikmat tersebut dari Sang Pemberi nikmat, berasal dari-Nya dan atas keutamaan-Nya.

Syukur dengan lisan yaitu selalu memuji Yang Memberi nikmat, menyebut nikmat itu, mengulang-ulangnya serta menampakkan nikmat tersebut.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya,“Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutNya (dengan bersyukur)”.(QS Adh-Dhuha: 11)

Syukur dengan anggota badan yaitu tidak menggunakan nikmat tersebut kecuali dalam rangka ketaatan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, berhati hati dari menggunakan nikmat untuk kemaksiatan kepada-Nya.

Setelah kita tahu hakikat dan macam-macam syukur, maka marilah kita bertanya kepada diri sendiri;
Apakah kita telah bersyukur dengan benar?
Apakah kita telah sejujurnya mencintai Allah, telah tunduk dan mengakui nikmat dan keutamaan yang diberikan Allah?
Apakah kita telah benar-benar memuji Allah?
Adakah kesyukuran itu telah mempengaruhi hati kita, lisan kita dan seluruh tindak tanduk, akhlak dan pergaulan kita?

Atau secara terus terang saja kita bertanya:
Apakah termasuk syukur, jika seorang muslim atau muslimah meniru-niru gaya hidup orang kafir?
Apakah cerminan syukur bila seorang muslimah mengikuti model dan gaya hidup wanita musuh Allah?Berpakaian terbuka, bertabarruj dan menerjang norma syara' tanpa rasa malu?
Apakah termasuk syukur jika seorang muslim meninggalkan shalat lima waktu, menyia-nyiakannya, atau tidak mau mengerjakannya dengan berjamaah?
Bahkan lebih senang mengikuti perkara bid'ah dan sesat?
Apakah termasuk orang syukur kalau meremehkan puasa Ramadhan, tidak mau pergi haji padahal mampu, tidak mau membayar zakat dan berinfak?
Apakah merupakan bentuk syukur jika senang bergelut dengan riba, menghamburkan harta untuk berfoya-foya, minum-minuman keras, narkotik dan sejenisnya?
Apakah cerminan syukur apabila seorang pemuda yang suka berlomba haram dan merempit di jalan umum, berbual di telepon yang tak berguna, membuang makanan dan meremehkan nikmat yang dia terima?

KENALILAH NIKMAT ALLAH
Sesungguhnya mengetahui dan mengenal nikmat Allah, merupakan di antara rukun terbesar dalam bersyukur. Karena tidak mungkin seseorang dapat bersyukur, jika dia merasa tidak mendapatkan nikmat. Maka mengenal nikmat merupakan jalan untuk mengenal Sang Pemberi Nikmat, dan kalau seseorang tahu siapa yang memberikan nikmat, maka dia akan mencintainya, sehingga cinta itu akan melahirkan kesyukuran dan terima kasih.Nikmat Allah tidaklah terbatas pada makanan dan minuman belaka, namun seluruh gerak dan desah nafas kita adalah nikmat yang tak terhingga yang tidak kita ketahui nilainya.

Abu Darda' mengatakan, "Barang siapa yang tidak mengetahui nikmat Allah selain makan dan minumnya, maka berarti pengetahuannya cetek dan azabnya telah menimpa.
Maka dikatakan, bahwa syukur yang bersifat umum adalah syukur terhadap nikmat makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan dan kekuatan. Dan syukur yang bersifat khusus adalah syukur atas tauhid, keimanan dan kekuatan hati.

POKOK-POKOK NIKMAT
Nikmat Allah amatlah banyak, tidak terhingga dan tak berbilang, namun ada di antaranya yang sangat besar dan pokok yang perlu untuk kita ketahui, yaitu:

NIKMAT ISLAM DAN IMAN
Demi Allah, inilah nikmat yang terbesar, di mana Allah menjadikan kita sebagai muslim yang bertauhid, bukan Yahudi yang dimurkai dan Nashara yang tersesat, yang mengatakan Allah mempunyai anak, yakni Uzair Ibnullah dan Isa Ibnullah, Maha Suci Allah dari sifat yang tak layak ini.
Ibnu Uyainah (Sufyan) berkata, "Tidak ada satu nikmat pun dari Allah untuk hamba-Nya yang lebih utama, daripada diajarkannya kalimat LA ILAHA ILLALLAH.”

PENANGGUHAN DAN TUTUP DOSA
Ini juga merupakan nikmat yang sangat besar karena jika setiap kita melakukan dosa lalu Allah langsung membalasnya, maka tentu seluruh alam ini telah binasa. Akan tetapi Allah memberikan kesempatan dan penangguhan kepada kita untuk bertaubat dan memperbaiki diri.
Allah SWT berfirman,
"Dan (Dia) menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin” (QS Luqman: 20)
Berkata Muqatil, "Adapun (nikmat) yang lahir (nampak) adalah Islam, sedangkan yang batin adalah tutup dari Allah atas kemaksiatan kalian."

NIKMAT PERINGATAN
Peringatan adalah termasuk nikmat yang besar dan ini merupakan salah satu ketelitian Allah agar hamba-Nya tidak terlena. Tanpa kita duga terkadang ada seseorang yang datang meminta makan atau sesuatu kepada kita yang dengan perantaraan orang yang sedang kesusahan tersebut akan membuat kita ingat terhadap nikmat yang diberikan Allah.

TERBUKANYA PINTU TAUBAT
Merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah adalah terbukanya pintu taubat. Sebanyak apa pun dosa dan kemaksiatan seorang hamba. Selagi nafas belum sampai di tenggorokan dan selagi matahari belum terbit dari barat, maka pintu taubat selalu terbuka untuk dimasuki oleh siapa saja.

MENJADI ORANG TERPILIH
Nikmat ini hanya dapat dirasakan oleh orang yang beristiqamah, wara' dan selalu menghadapkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala serta tidak menoleh kepada yang lain. Maka Allah menguatkan hatinya ketika fitnah tersebar di sana-sini, meneguhkannya di atas ketaatan ketika orang berpaling darinya. Allah hiasi hatinya dengan iman dan dijadikan cinta kepadanya, lalu dia benci terhadap kefasikan dan kemaksiatan. Ini termasuk nikmat paling besar yang harus disyukuri dengan sepenuhnya dan dengan sanjungan sebanyak banyaknya.

KESIHATAN, KESEJAHTERAAN DAN KESELAMATAN ANGGOTA BADAN
Kesihatan sebagaimana dikatakan oleh Abu Darda' Radhiallaahu anhu adalah ibarat raja.
Sementara itu Salman al Farisi mengisahkan tentang seorang yang diberi harta melimpah lalu kenikmatan tersebut dicabut sehingga dia jatuh miskin, namun orang tersebut justru memuji Allah dan menyanjung-Nya. Maka ada orang kaya lain yang bertanya, "Aku tak tahu atas apa engkau memuji Allah? Dia menjawab, "Aku memuji-Nya atas sesuatu yang andaikan aku diberi seluruh yang diberikan kepada manusia maka aku tidak mau menukarnya.
Si kaya bertanya, "Apa itu? Dia menjawab, "Apakah engkau tidak memperhatikan penglihatanmu, lisanmu, kedua tangan dan kakimu (kesehatannya)?

NIKMAT HARTA (MAKAN, MINUM DAN PAKAIAN)
Bakar al Muzani berkata, "Demi Allah aku tidak tahu mana di antara dua nikmat yang lebih utama atasku dan kalian." Apakah nikmat ketika masuk (menelan) ataukah ketika keluar dari kita (membuang)? Berkata Al-Hasan, "Itu adalah kenikmatan makan."

Aisyah Radhiallaahu anha berkata, "Tidaklah seorang hamba yang meminum air bening, lalu masuk perut dengan lancar tanpa ada gangguan dan keluar lagi dengan lancar kecuali wajib baginya bersyukur."

SUMBER: KUTAIB "AINA ASY SYAKIRUN" AL-QISM AL-ILMI DARUL WATHAN.

Friday, June 18, 2010

Penuntut Ilmu Tidak Boleh Futur, Berputus Asa Dan Merasa Bosan

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu.
Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat.
Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan.

Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:
1) Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.
2) Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali
    dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.
3) Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit. [1]

Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.

Di antara sebab-sebab itu adalah.
1) Hilangnya keikhlasan.
2) Lemahnya ilmu syar’i.
3) Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.
4) Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5) Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6) Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi.
7) Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.
8) Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9) Lemahnya iman.
10) Menyendiri (tidak mau berjama’ah).
11) Lemahnya pendidikan. [2]

Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya orang-orang yang enggan mengetahuinya.

Di antara obat penyakit futur adalah.
1) Memperbaharui keimanan.
Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan.
2) Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.
3) Ikhlas dan takwa.
4) Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).
5) Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah
    syar’iyyah.
6) Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.
7) Mencari teman yang baik (shalih).
8) Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
9) Sabar dan belajar untuk sabar.
10) Berdo’a dan memohon pertologan Allah. [3]

PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN.

Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang. Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.”

Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu.

‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal. Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia dapatkan?

Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani bahkan ayahnya pendeta orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.”

Demikian juga dengan Nashiruddin Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia adalah seorang penyamun (perampok). Ia menceritakan tentang kisah taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah menghadang orang yang lewat, ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah pagar kurma. Lalu melihat burung berpindah dari pohon kurma dengan teratur. Ia merasa heran lalu memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia melihat ular yang sudah buta dan burung tersebut melemparkan makanan untuknya. Ia merasa heran dengan apa yang dilihat, lalu ia pun taubat dari dosanya. Kemudian ia menuntut ilmu dan banyak mendengar dari para ulama. Banyak juga dari mereka yang mendengar pelajarannya.

Inilah sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan ada pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama, sosok mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah mereka meninggal.

Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari kedua, ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4]

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i. Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran.

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
__________
Rujukan:
[1]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22).
[2]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 43-71).
[3]. Ibid (hal. 88-119) dengan diringkas.
[4]. Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279)

Mutiara Tazkirah.

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

" Ketahuilah! Sesungguhnya seseorang yang sedang terapung di tengah lautan di atas sebatang kayu tidaklah lebih memerlukan (pertolongan) Allah dan kasih sayangNya daripada seorang yang sedang duduk santai di dalam rumahnya bersama isteri dan anak-anaknya. Jika anda telah memahami hal ini dengan hatimu, maka bertawakkallah kepada Allah seperti tawakkalnya seorang yang sedang tenggelam di tengah lautan, yang meyakini bahwa tidak ada suatu pun yang dapat menyelamatkannya kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala. "
Ibnu Qudzafah

Thursday, May 27, 2010

Fahami Konsep Halal

Oleh Ainal Marhaton Abd Ghani
PERKATAAN ‘halal’ membawa erti cara hidup orang Islam yang menitikberatkan toyibban iaitu kesucian, amalan kebersihan dan kehidupan yang sihat serta ‘halalan’.

PERKATAAN ‘halal’ membawa erti cara hidup orang Islam yang menitikberatkan toyibban iaitu kesucian, amalan kebersihan dan kehidupan yang sihat serta ‘halalan’.

Islam dengan jelas memerintahkan umatnya mengambil sesuatu yang halal dan meninggalkan yang haram berdasarkan firman Allah dan sabda Rasulullah s.a.w seperti dalam Surah Al-Baqarah Ayat 172 yang bermaksud: “Wahai orang beriman, makanlah makanan halal yang Kami kurniakan kepada kamu”.

Pasaran produk halal bukan saja terhad kepada negara Islam dan penduduk Muslim malah penerimaan terhadap barangan dan perkhidmatan halal kini semakin meluas di kalangan masyarakat bukan Islam.
Ini berikutan peningkatan kesedaran terhadap produk halal yang sinonim dengan produk yang selamat, berkhasiat, bersih dan suci.

Justeru, peluang yang meluas untuk pasaran produk halal seharusnya direbut usahawan, terutama di kalangan usahawan Muslim dengan permintaan produk halal yang tinggi di seluruh dunia. Pengarah Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi Dan Kepenggunaan Pahang, Abu Samah Shabudin, berkata perkara yang menyedihkan apabila ramai pengeluar makanan halal datang dari negara bukan Islam.

“Pengeluar utama daging dunia adalah dari Brazil, Amerika Syarikat, Argentina, Australia, Kanada, China, India dan New Zealand.

“Jika di tinjau di Asia Tenggara pula, Thailand sudah membina nama sebagai pengeluar makanan halal,” katanya.

Menurutnya, usahawan bukan Islam di negara ini lebih menguasai pengeluaran makanan halal, berbanding usahawan Muslim.

“Bagaimanapun, kita bersyukur kerana masih ada usahawan Muslim yang berusaha untuk berebut peluang menguasai pengeluaran makanan halal.

“Sebagai contoh, syarikat milik penuh Bumiputera dari Kedah, Herba Penawar Al-Wahida (HPA) yang terkenal dengan pelbagai produk harian yang halal.

“Meskipun kita ‘malas’ memikirkan mengenai isu ini, apa yang membimbangkan ialah kesan kepada diri dan kerukunan bangsa kita pada masa akan datang.

“Iman adalah teras pembentukan jiwa dan peribadi Muslim selain pemakanan halal mampu melahirkan Muslim yang sempurna,” katanya.

Pengarah Jati Mahkota HPA cawangan Kuantan, Jaafar Abd Ghani, berkata masyarakat bukan Islam di Malaysia perlu dijelaskan dengan lebih mendalam mengenai konsep halal dan haram makanan mengikut perspektif Islam yang sebenarnya.

“Kita perlu mengubah tanggapan mereka makanan yang halal bukan makanan daripada khinzir saja, tetapi meliputi pelbagai konsep lain yang perlu dijelaskan dengan lebih mendalam.

“Antara konsep yang perlu diambil perhatian adalah punca makanan itu sendiri seperti daging yang
digunakan.

“Kebanyakan masyarakat bukan Islam menganggap hanya khinzir makanan yang diharamkan dalam Islam, tetapi mereka perlu dijelaskan mengenai haiwan lain yang haram dimakan seperti haiwan bertaring, haiwan yang hidup dua alam dan binatang yang jijik seperti cicak,” katanya.

Katanya, kaedah penyembelihan haiwan juga perlu dijelaskan kepada masyarakat bukan Islam yang kebanyakannya tidak tahu konsep penyembelihan haiwan dalam Islam.

“Peniaga makanan bukan Islam juga perlu memastikan haiwan yang mereka beli di pasaran perlu disembelih oleh syarikat yang mendapat pengiktirafan halal oleh Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) sebelum dipasarkan, ” katanya.

Menurutnya, cara pengurusan makanan serta pemprosesannya perlu terhindar daripada sebarang najis atau bercampur dengan bahan haram di sisi Islam.

Katanya, campuran bahan makanan juga wajar diberi perhatian sama ada ia bebas dari campuran alkohol atau minyak lemak babi.

“Ada restoran yang mempamerkan lambang halal, tetapi bahan makanannya dicampur dengan alkohol atau barang terlarang di sisi Islam.

“Ia berlaku di kebanyakan restoran serta hotel yang menggunakan khidmat tukang masak luar negara,” katanya.

Wednesday, May 19, 2010

TAARUF

Assalamu'alaikum wrh wbh.


blog kawan saya